Nilai-Nilai sandaran Etika
10:57 PMNilai-Nilai sandaran Etika
Agus Nia/0906491963
Etika merupakan salah satu bagian dari filsafat nilai, yang didalamnya membahas nilai-nilai atau prinsip-prinsip: sopan dan tidak sopan, pantas dan tidak pantas, patut dan tidak patut, dan sebagainya. Etika juga berisi peraturan-peraturan mengenai perbuatan yang benar (right action) dan larangan-larangan untuk melakukan tindakan yang salah (wrong action).
Etika membantu seseorang agar tidak kehilangan orientasi dalam menjalani hidupnya. Suara hati memegang peranan penting bagi seseorang untuk menjaga dirinya agar tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap benar (right action) dan mencegah tindakan-tindakan yang salah (wrong action). Oleh karena itu, seseorang membutuhkan nilai-nilai etika yang dapat menjadi sandaran bagi dirinya sendiri dalam bersikap sehari-hari. Nilai-nilai tersebut adalah hormat terhadap diri sendirinilai norma yang mencakup kejujuran dan keseimbangan, nilai hukum dan nilai agama.
Manusia wajib menghormati dirinya sendiri sebagai orang yang berkehendak, dan memiliki kebebasan untuk mengikuti suara hatinya, serta sebagai manusia yang berakal budi. Dengan menghormati otonomi diri sendiri, seseorang akan lebih mudah mengendalikan dirinya dalam bersikap. Hal itu dipandang karena manusia merupakan makhluk berakal budi. Sebagai contoh, ketika seseorang memerintah kita untuk melakukan hal yang tidak sejalan dengan suara hati kita, kita dapat menolak perintah tersebut dengan tegas karena kita menjaga idealisme kita, itulah yang dinamakan menghormati diri sendiri.
Fairness atau kejujuran dan balance atau adil merupakan kunci dari nilai etika. Suara hati dari etika menuntun kita untuk menimbang segala hal sebelum melakukannya. Baik atau burukkah? Benar atau salahkah? Sesuai atau tidakkah? Patut atau tidakkah? Dengan melihat kondisi dan fakta-fakta yang ada, suara hati selalu menunjukkan kemandiriannya, tanpa harus menjadi pembeo, tanpa harus mengikuti orang lain. Suara hati membuat seseorang jujur dan adil dalam menghadapi sesuatu. Suara hati secara langsung meng-etik-kan seseorang untuk tidak berat sebelah memandang sesuatu dan memaparkan hal tersebut sejernih mungkin. Sebagai contoh, suara hati dapat menyadarkan seseorang untuk mandiri ketika ujian tanpa harus menyontek, dan suara hati dapat membuat seorang penjual buah berlaku adil ketika menimbang buah dengan alat timbangannya tanpa harus berlaku curang.
Nilai yang memiliki sanksi sosial disebut norma, sedangkan norma yang memiliki peraturan dan sanksi secara tertulis disebut hukum. Tatanan hukum dibuat untuk mebuat jera. Dengan adanya hukum yang tegas, maka penyimpangan dan kesalahan akan minim terjadi, serta tindak-tanduk masyarakat yang meresahkan warga juga minim terjadi. Jika hal tersebut terbentuk, dapat dikatakan bahwa badan hukum telah berhasil menjadi suatu lembaga yang dapat meminimalisir tindakan masyarakat yang tidak berhaluan dengan nilai-nilai etika. Namun terkadang, sanksi sosial yang di-label-kan masyarakat atas kesalahan yang dilakukan seseorang ternyata jauh lebih berat dihadapi dibandingkan dengan sanksi hukum yang diterima.
Ilmu pengetahuan yang didapat dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari merupakan nilai-nilai kebaikan yang akan dibawa seseorang untuk diterapkan dalam kehidupannya. Etika bersandar pada nilai moral dan religius yang implementasinya dikendalikan oleh hati nurani. Nilai agama merupakan sandaran etika yang bernilai mutlak dan menjadi suatu kepercayaan, karena di dalamnya terkandung aturan, larangan, dan perintah. Agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan menanamkan bahwa segala apapun yang kita lakukan di dunia harus dipertanggungjawabkan dalam kehidupan yang lebih kekal suatu hari nanti. Nilai inilah yang menjadi tolok ukur seseorang dalam menjalani kehidupannya, apakah ia akan mengkuti kaidah agama yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Nilai agama ini juga menjadi sandaran yang mendukung diterapkannya perilaku yang etis dan beradab.
Secara natural, hati nurani memegang andil yang besar terhadap segala hal yang dilakukan manusia. Ia memerintahkan atau melarang kita dalam melakukan segala hal. Tidak mengikuti hati nurani berat=rti menghancurkan integritas pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita. Itulah mengapa K. Bertens menyatakan ada dua bentuk hati nurani, yaitu hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tetntang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Ia menyatakan hal tersebut baik atau tidak baik dilakukan. Sebagai contoh, hati nurani retrospektif menuduh atau mencela apabila pebuatan yang dilakukan kita adalah jelek, dan memuju atau memberikan rasa puas ketika perbuatan yang dilakukan kita adalah baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tntang perbuatan yang telah berlangsung.
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani ini akan mengatakan “jangan” dan melarang kita untuk melakukan sesuatu yang dianggap buruk. Hati nurani ini sekan-akan menghukum kita apabila melakukan hal-hal yang dilarangnya. Disini, hati nurani berperan sebagai pembatas ketika akan melakukan suatu tindakan. Ketika nurani bertindak sebagai pengatur yang diawali dengan menimbang sebab akibat yang diterima, maka disinilah hati nurani bertugas melihat apakah tindakan yang akan dilakukannya itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masyarakat, jika ya, maka saat itulah tindakan orang itu telah sesuai dengan nilai etika.
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. p. 52.
Ibid. p. 54.
0 comments