"Ada yang bilang kalau realistis itu adalah berpikir sesuai dengan kenyataan yang ada. Artinya, kita nggak harus bertindak sesuai teori atau prinsip hakiki yang ada, tapi lebih melihat pada kenyataan dan kemudian mengambil keputusan yang tepat atas kenyataan tersebut."
Begitukah?
Beberapa bulan terakhir ini saya dihadapkan oleh kata ini berkali-kali. Realistis adalah kata yang saya cetuskan sendiri kepada pasangan saya saat ini. Tulisan kali ini akan membahas secara implisit (bahkan abstrak) mengenai masalah, tindakan atas masalah itu, realita, dan sikap realistis kami.
Adakalanya kenyataan tidak seperti yang kita mau dan kita rencanakan, itu saatnya bagi kita untuk realistis. Iya, kan? Timbal balik dari sikap realistis itu adalah menerima dan mengambil hikmahnya, atau keep fight dan ambisius untuk membalikkan keadaan, atau bahkan pasrah dengan kondisi yang ada dan lalu menyerah.
Faktanya, untuk menjadi seseorang yang realistis itu begitu sulit. Apalagi kita sudah merencanakan matang-matang mengenai sesuatu yang benar-benar kita ingin gapai dan realisasikan. Kata realistis seakan menjadi momok yang menakutkan bilamana kenyataan itu tidak berpihak pada kita dan tidak sejalan dengan apa yang kita mau.
Kita berkali-kali dihadapkan dengan masalah yang berbeda-beda, baik datang satu per satu, bertubi-tubi, maupun datang serombongan. Kita dituntut untuk mencari solusi atas masalah-masalah tersebut.
Tapi apa kita menyerah? Istirahat sejenak kadang kita lakukan, namun menyerah cenderung tidak kami lakukan.
Kami mencoba mencari solusi terbaik, walau kadang cara pikir kami berbeda dalam menemukan solusi tersebut.
Ketika titik cerah tak kunjung terlihat, kami mencoba meredakan itu semua dengan menenangkan pikiran masing-masing. Kami mengevaluasi, dan mencari tahu cara mana yang tidak sesuai.
Dari sisi saya, saya melihat semua masalah ini bisa selesai. Namun dari sisinya, selesainya semua masalah ini adalah sebuah ketidakmungkinan. Karena semua ini datang dari masalah laten dirinya. Saya tidak bermaksud menyudutkan dirinya, tapi lagi-lagi kita harus realistis dan mengakui dengan kesadaran kita bahwa memang begitu faktanya 'kan, sayang?
Semua ini berakar dari pembiaran dirinya atas ketidakpedulian kedua orang tua yang kini sudah tidak utuh atas masa depan dirinya.
Pembiaran tersebut berlangsung selama bertahun-tahun dengan harapan orang tuanya akan sadar dikemudian hari.
Pembiaran di sini tidak betul-betul membiarkan, tapi dirinya sudah sangat lelah mempertanyakan haknya sebagai seorang anak namun tidak ada timbal balik yang sepatutnya untuk dia dapatkan. Dia lelah, dan akhirnya apatis. Saya hanya bisa prihatin.
Terkadang saya sesekali membantu mencari solusi agar semua ini bisa terurai dan membaik. Saya berempati dan memposisikan diri saya apabila menjadi dirinya dan akhirnya saya menemukan jawaban bahwa sungguh sulit ya menjadi kamu.
Saya merasa bahwa menjadi dewasa itu pelik. Saya mencoba membantu semampu saya. Saya ingin dengan hadirnya saya bisa memperingan segala bebannya, namun itu tidak serta merta mengubah hidupnya menjadi lebih baik,
Kini, kami sedang mempersiapkan diri kami untuk realistis. Kami tahu betul untuk menjadi realistis diperlukan kesiapan yang cukup agar masa keterpurukan itu tidak berlarut-larut dan berlangsung lama.
Di luar dari sikap realistis itu, hanya keajaiban yang bisa membantu niat baik kami untuk keluar dari masalah-masalah ini.
Semua ini bukanlah hal yang sia-sia. Investasi waktu, pikiran, perasaan, materi, dan dukungan moril.
Semua ini membentuk kita untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan menjadi pemimpi yang pandai.
"Kita tidak pernah dibatasi untuk bermimpi, tapi setidaknya kita menyiapkan alas yang empuk apabila sewaktu-waktu kita terbangun saat kita sedang bermimpi nan tinggi dan mimpi itu belum sempat kita realisasikan menjadi kenyataan."