Kembali Merdeka!
12:50 PMDirgahayu Indonesia! Semoga kamu semakin jaya.
Aku bangga menjadi bagianmu, rakyat Indonesia. Aku bangga menggunakan bahasamu, bahasa Indonesia. Aku bangga berdiri di tanahmu, tanah air Indonesia.
Aku bangga dilahirkan di tanggal dan bulan yang sama saat bumi Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Aku bangga bahwa ada sebuah ikatan yang cukup sentimentil antara aku dan kamu: kita lahir di tanggal yang sama. Bedanya, kamu 71 tahun, aku 25 tahun. Aku tahu kita gak mungkin jadi pasangan yang serasi. Tapi aku yakin kamu pasti punya lebih banyakkkk pengalaman dibanding aku. Ya, kan? Kalau kamu adalah seorang kakek atau nenek yang kaya akan pengetahuan nan pengalaman berharga, jangan lelah untuk menasihati aku dengan petuah bijakmu ya!
Jadi intinya, hari ini adalah hari yang benar-benar memerdekakan bagi kita semua! Khususnya buat gue.
Hari ini, gue udah sampai di level 25. Ibarat main Pokemon-Go, gue udah punya beragam Pokemon ciamik dengan CP yang gede dan gak malu-maluin banget buat dipamerin. Walaupun kenyataannya, sampai saat ini gue masih stuck main Pokemon-Go di level 16. hahaha
Level, menurut gue akan lebih menyenangkan untuk disebut ketimbang umur. Karena umur hanya menggambarkan seberapa lama gue hidup dan seberapa lama lagi sisa hidup gue di dunia ini. Ada tensi demotivasi pada term 'umur'. Sedangkan level lebih menggambarkan seberapa banyak pelajaran (continuously learn) yang telah gue ambil dan maknai selama ini, seberapa banyak variabel kemampuan (skill) yang meresap ke dalam tubuh gue saat ini, seberapa banyak kesempatan hidup (healthy bar) yang telah gue habiskan untuk mencapai level ini, dan seberapa banyak pengalaman (experience) yang telah gue raih (achievement) untuk sampai di level 25 ini.
Bila kenaikan satu level memiliki jangka waktu satu tahun, maka banyak sedikitnya perolehan dan pencapaian yang gue terima saat ini, tergantung dari sejauh mana gue mendedikasikan diri gue untuk menjadi lebih baik lagi dan lebih baik lagi.
Berbicara mengenai umur, tepat hari ini, gue seperempat abad! Kalau ini adalah tahun perak, gue menerima untuk ditempa lagi agar nanti bisa jadi logam mulia yang berkilau.
Sebelum hari itu tiba, beberapa hari belakangan, gue bermenung, apa yang udah gue lakuin selama ini? Apa manfaat gue ada di dunia ini?
Dari segi lamanya gue hidup, gue gak merasa gue sudah cukup tua, gue pun juga gak merasa gue masih muda. Gue merasa hari ini adalah hari gue untuk lebih dewasa dan lebih realistis. (Cek blog gue tentang kedewasaan & kerealistisan di sini)
Dari hasil permenungan tersebut, maka gue bisa menyimpulkan, sbb.
1. Gue terlalu banyak buang-buang waktu
2. Gue terlalu banyak plin-plan dalam memutuskan
3. Gue terlalu mudah simpati dan berempati
4. Gue terlalu lembek
5. Gue terlalu banyak berharap orang-orang akan peduli sama gue
6. Gue terlalu naif untuk memikirkan bahwa gue bisa mencapai hidup yang sempurna
But, please slow down. I'm not going to spread negative vibes!
Gue ingin menjelaskan bahwa di level 25 ini, gue perlu berubah menjadi orang yang lebih baik dengan menuliskan beragam kekurangan dalam diri gue dan tantangan yang gue hadapi dari segi eksternal.
1. Gue terlalu banyak buang-buang waktu
Yes, indeed. Gue adalah orang yang gak mau ribet, berpikir semua itu gampang, semua itu pasti ada solusinya.
Sampai akhirnya gue merasa kalau gue adalah seorang problem solver.
Kadang hal itu bermanfaat, tapi beberapa tahun belakangan ini gue berusaha menyelesaikan permasalahan yang pada akhirnya terus-terusan memunculkan permasalahan baru dan permasalahan baru lagi. Begitu terus sampai akhirnya gue tersadar, maybe I need to cut the rope because I know it is a curse and my existence is only make things get worse. So, I cut it out!
Hal yang paling krusial mengapa gue memutuskan itu bahwa gue bukanlah siapa-siapa yang punya hak untuk memutar balikkan kehidupan seseorang. Keyakinan gue awalnya, gue bisa mendukung seseorang all out (dukungan moral, material, dsbg) agar dia bisa menjadi pribadi yang lebih bahagia, dan semoga (anggap aja ini mimpi ala Disney gue) saat kebahagiaan itu menghampirinya, dia akan ingat bahwa gue selalu ada disaat-saat sulit dia dan masih ada disampingnya. Sampai pada masanya kita bahagia bareng-bareng forever after.
But, ZONK!
I realize that I'm wasting my time, my energy, and my soul. It consumed me.
Jadi, ya... sekarang talinya sudah dipotong, dan gue akan lebih bijak lagi dalam menggunakan waktu.
2. Gue terlalu banyak plin-plan dalam memutuskan
Decision maker is a skill that I still try to achieve it! Susah banget ya untuk menjadi seseorang yang bisa memutuskan, karena dalam prosesnya banyak pertimbangan dan rasa takut akan hal-hal yang mungkin terjadi sesudahnya.
Tapi balik lagi seperti blog gue sebelumnya, saat ini gue sudah mencoba menjadi diri gue dalam versi yang paling baik, dalam memutuskan dan realistis. Realistis dalam menghadapi kenyataan apa yang benar-benar terbaik buat gue as a person dan saat berkomunikasi intrapersonal, terbaik buat dia saat berkomunikasi interpersonal, dan terbaik buat kita atau mereka ketika berkomunikasi extrapersonal.
Karena talinya sudah dipotong, jadi ini merupakan awal berkurangnya ke-plin-plan-an gue dan semoga gue bisa menjadi orang yang lebih kritis, realistis, dan lebih baik lagi setelah ini.
3. Gue terlalu mudah simpati dan berempati
Ini agaknya seperti kelebihan dan bisa juga jadi kekurangan bagi gue.
Gue masih inget banget saat gue nangis bareng sama teman kuliah gue di angkot karena dia baru aja kecopetan handphone di bis yang baru aja kita tumpangin bareng. Gue ikut nangis karena I can feel her. Tapi nilai drama tertinggi adalah mengenai kisah dia menjelang detik-detik kehilangan HP priceless-nya itu.
Cerita dimana dia meminta dengan sangatttt kepada ayahnya untuk dibelikan HP yang saat itu dia tahu keadaan orang tuanya gak memungkinkan. Di sisi lain, dia juga ditekan karena ponsel itu sangat dia butuhkan demi berkoordinasi dengan organisasi kampus dan teman-temannya. Cerita di mana dia membentak ayahnya--yang notabene adalah orang yang paling peduli dengan dia-- karena suatu hal saat dia hendak ke Depok untuk ngajar les bimbel dan akhirnya secara gak sengaja dia ketemu gue di bis dengan tujuan yang sama, ngajar les bimbel.
Dan, setelah dia ceritakan segala hal yang dia rasakan, tumpah ruahlah semua, betapa menyesal dirinya atas peristiwa yang dia alami dan atas segala hal yang dia telah lakukan. Gue hanya bisa meluk dia dan ikut nangis; Menggambarkan betapa sedihnya gue karena gue sangat bisa merasakan apa yang dia rasakan. I put my foot on her shoes.
It's only a small story in a short moment. But the memory stay forever.
Gue gak tahu sudah berapa lama nilai simpati dan empati yang gue pupuk terus-terusan ini tumbuh subur atau memang itu sudah tertanam di nilai-nilai keluarga gue. Yang gue sadari, rasa simpati dan empati yang tak terkontrol membuat gue gak bisa berpikir realistis dan terlalu berlarut-larut memikirkan kehidupan dan perasaan orang lain. Rasa empati ini juga yang sudah membuat gue merasa gue bisa bantuin ini itu, dan menyerahkan segala usaha untuk satu-satunya my top of mind person.
So, I need to minimize it. I won't cut the sympathy and empathy because it makes me more human, I'll just control it as it should be.
4. Gue terlalu lembek
Dibesarkan menjadi anak bungsu membuat gue menjadi mudah rentan, karena sampe sebesar ini aja orang tua gue masih menganggap gue anak kecil. Mereka serta merta melindungi, mendukung, dan membentengi gue kalau-kalau ada yang mau menjahati gue atau masa sulit menghampiri gue. Betapa beruntungnya gue, dan gue bersyukur atas itu.
Gue merasa ini juga bernilai positif tapi bisa juga berdampak negatif buat gue.
Negatifnya, gue jadi lembek, ga tahan banting. Padahal gue harusnya perlu sering-sering dilatih agar tahan banting.
Faktanya, saat masa sulit menghampiri gue, gue masih suka mau nangis dan butuh pertolongan tuhan untuk mempermudah semua ini...
Jadi, gue akan lebih membiarkan diri gue untuk merasakan sulitnya sebuah situasi (
One day, I'll realize and be thankful for all the struggles I've been through. They make me stronger, wiser, and humble. I wish, all the struggles won't break me, but it makes me to be a better person.
5. Gue terlalu banyak berharap orang-orang akan peduli sama gue
Ini adalah repetisi. Contoh kecilnya, tahun-tahun sebelumnya gue selalu menanti siapa-siapa saja orang yang akan peduli sama gue pada hari ini, ya tepat hari ini. Lalu gue mulai menghitung siapa-siapa aja yang gak ada untuk sekadar mengucapkan selamat atau menyambut senyum sapaan gue.
Gue gak habis pikir ya, ternyata gue adalah orang dengan versi yang seperti ini sebelum-sebelumnya.
Ya, Allah ampuni hambamu yang gak tahu diuntung ini... T_T
Sekarang, gue buang-buang jauhhhhhhh pikiran macam ini, I knew, by counting and counting unnecessary thingy, I'm wasting my time. A lot.
Setelah gue buang jauh-jauh pikiran macam ini, hasilnya: SUPER LEGA!!!!!
Karena gue tahu, untuk menjadi orang yang dipedulikan orang lain, gue harus mulai duluan. Dan jangan pernah berharap gue akan dipeduliin orang lain, kalo gue sendiri aja gak care.
Jauh sebelum ini gue adalah orang yang sangat egois. Makanya bisa dibilang karena sifat ini, sahabat gue gak banyak, dan ini salah satu penyesalan terbesar gue sebagai generasi bangsa yang harusnya be humble!
Kenapa sih gue gak berteman sebanyak-banyaknya kala gue masih muda? Kenapa sih gue selalu gak available kalau diajakin main sama temen-temen dengan alasan gue anak rumahan, gue gak boleh pulang malem, dan gue harus belajar. Gue bukan menyesali bahwa gue adalah anak rumahan, harus taat peraturan jam malem, dan kewajiban belajar, bukaannn. Poin gue di sini, gue kehilangan banyaakkkk sekali waktu-waktu berkualitas yang sebenernya bisa gue habiskan bareng temen gue kala itu dan hari ini mungkin gue bisa cerita-cerita nostalgia mengenai kekonyolan yang pernah kita lakuin kala itu.
Yeah, life is about choices. My choice at the past & present is the result of my future. Okay. Thanks.
6. Gue terlalu naif untuk memikirkan bahwa gue bisa mencapai hidup yang sempurna
Ini nih sifat yang paling parah. Kenaifan atas kehidupan yang fana!
Siapa sih di sini yang nggak mau mendapatkan hidup yang sempurna?
Melihat Alvin nikah muda dengan Larissa Chou, langsung baper, dan bilang itu adalah kesempurnaan.
Melihat Syahrini keliling dunia dan bergelimangan harta, bilang itu adalah kesempurnaan.
Melihat Awkarin dikelilingi oleh sahabat yang peduli sama dia dan penghasilan puluhan juta, bilang itu kesempurnaan.
We tend want to be a perfect person, but the fact, we can't be 100% perfect!
Sebelumnya, gue merasa, gue bisa kok kayak mereka, tinggal nunggu waktu yang tepat aja. Gue bisa kok memiliki ini itu dengan kerja ini kerja itu, nabung ini nabung itu. Gue juga punya sahabat yang baik walau gak banyak. Then, when I got it all, What a perfect life!
No! Meminjam istilah dari temen gue, "Itu hanya khayalan babu belaka."
Gue menyadari, selama apa yang gue ingin dapatkan dan coba raih berasal dari keinginan yang sama setelah melihat isi kuali orang lain, gue gak akan merasa sempurna dan gak akan mendapat kepuasan dari hasil menyontek. Hal itu hanya akan menyakiti orang-orang yang sedang bersama gue. Karena adakalanya gue bisa saja menekan, membebani dan berusaha mengondisikan suatu keadaan, atau mengatakan "Aku ingin bangetttt seperti A, Mama/Papa/Kakak/Om/Tante/Lo/Kamu bisa bantu aku mewujudkannya?"
Jadi, jawabannya untuk hal ini adalah berpasrah tapi juga jangan berhenti berusaha. Intinya usaha gue adalah sesuai dengan kemampuan dan tenaga gue.
Sebenernya, bisa banget buat menjadikan pencapaian orang lain sebagai motivasi, tapi tidak serta merta menginginkan pencapaian yang sama persis atas orang tersebut.
Gue kadang lupa, kalau tiap manusia itu unik, termasuk gue juga unik, lo juga!
Dengan keunikan itu, kita beda. Apa yang gue capai belum tentu sama dengan apa yang lo capai. Walau jalan yang kita tempuh adalah jalan yang sama, tapi hasilnya gak akan identik sama.
Hal yang membedakan kita adalah kualitas yang ada di dalam diri kita. Jadi, gue harus meyakini diri gue bahwa rumput di halaman gue adalah rumput yang lebih hijau dari yang lain, kalau gak hijau gue akan coba lagi bercocok tanam agar rumput gue beneran hijau dan tumbuh subur. :)
Jadi, semangat!
Semoga level 25 akan menjadikan gue pribadi yang dengan bangga menginjakkan kaki di level 26 kelak, karena sejatinya, saat itu tiba, memang gue sudah pantas dan layak mencapai level 26!
Semoga gue menjadi manusia yang kelak bisa jadi kebanggaan buat bangsa ini. Kalau kata bokap nyokap gue sih, gue cukup jadi kebanggaan mereka, dan mereka beruntung punya anak kayak gue. Gue pun beruntung dilahirkan oleh ayah ibu yang super keren! Terima kasih Tuhan. :)
Kalau lo gimana?
P.S. Mungkin yang membaca tulisan ini belum tentu ngerti apa maksud tulisan ini, tapi yaudah gue berterima kasih aja kalau sampe ada yang baca tulisan ini dari awal sampai akhir. :)
Salam,
Nia
0 comments