Depend on People, Just Don't!
12:21 AMWe Can Never Depend on People...
We did it, then we regret. So, just don't.
But, the only good thing of depend on people is the moment when we realized that the best place ever to depend on is only to God.
Gue percaya bahwa kita pasti pernah berada dalam situasi bergantung terhadap seseorang ataupun sesuatu. Yang namanya bergantung, sudah pasti candu. Dan yang namanya candu, sudah pasti karena cinta, atau kita sudah dibuat mabuk.
Karena gue sudah keceplosan ngomong cinta, pasti pada bayangin contoh yang sama deh! Yakin banget gua...
Padahal, bukan cuma cinta yang bisa dijadiin contoh.
Selain cinta, yang bisa bikin kita bergantung, candu, dan mabuk kepayang adalah yang namanya mirasantika. Ya, mirasantika. Meminjam istilah Bang Haji Rhoma Irama, kita bisa juga dibuat bergantung minuman keras dan narkotika.
Tapi, bukan mirasantika yang mau gue bahas dalam tulisan kali ini.
Balik lagi ke rasa bergantung. Menurut gue, dari rasa bahasanya aja, kata bergantung itu terdengar negatif. Iya? Ya, iyalah! Bergantung itu bikin kita gak bisa berdiri sendiri, cenderung mengandalkan orang/sesuatu, dan tentunya gak produktif.
Sebenarnya, momen bergantung itu muncul dari kata positif yang namanya percaya. Dari percaya kita yakin bahwa apa yang kita sudah percayai dan yakini itu mampu membuat hidup kita lebih baik.
Sebenarnya, gak ada yang salah dari rasa percaya, as long as, rasa percaya itu tepat sasaran dan kita berikan pada zat yang maha dapat dipercaya. Bukan pada sesuatu atau pun seseorang!
Karena segala sesuatu dan setiap orang itu diciptakan dengan segala ketidaksempurnaan. Ibarat prototipe robot, kita dibuat dengan segala kecanggihan (kelebihan) dan segala kemungkinan error (kekurangan) yang beragam dan dikondisikan untuk saling melengkapi satu sama lain. Lebih parahnya, kalau permesinan kita gak pernah di-upgrade oleh teknisi atau gak di-update otomatis secara berkala, prototipe mesin ini akan menjadi sebuah mesin tua yang dalam hitungan waktu dimuseumkan dan menjadi legenda.
Rasa bergantung dalam konteks yang gue tulis ini, mungkin lebih masuk untuk hubungan pertemanan, persahabatan, maupun perpacaran.
Pasti pernah dong, kita percaya sama seseorang yang ujung-ujungnya membuat kita kecewa?
Dari rasa kecewa itu, kita menyesal, kenapa sudah percaya sama orang tersebut. Padahal momen itu terjadi karena rasa bergantung yang kita sudah biarkan melenggang masuk ke dalam sanubari kita serta telah diberikan tempat yang nyaman di rongga perut sebelah kanan kita (read: hati). Salah kita sih... (atau salah gue?)
Menurut gue, ada beberapa indikator tanda kita sudah mulai bergantung dengan seseorang.
Pertama, rasa nyaman. Ibarat hunian rumah yang ber-AC dengan ruang yang luas, kita bisa bebas ngegelosor, guling-guling, salto, dan melakukan aktivitas senam lantai lainnya di dalam ruang yang nyaman itu. Kita lupa, bahwa hunian itu bukan sepenuhnya milik kita (karena masih nyicil misalnya... hehehe).
Alhasil, suatu ketika kita tidak merawat hunian itu dengan baik, tiba-tiba, muncul masalah.
Entah gentingnya bocor, lantainya retak, atau pasaknya rapuh. At the end, tinggal nunggu waktu ketiban rumah deh! (Amit-amit ya)
Untuk mencapai momen ketiban rumah itu butuh waktu yang tidak sedikit, sama halnya momen ketika dikecewakan. Untuk membangun kepercayaan itu juga membutuhkan waktu; untuk membangun kenyamanan butuh waktu juga, dan untuk merasa dikecewakan itu butuh waktu yang lebih lamaaa. Jadi, kalo belum siap dikecewakan, jangan cepat percaya dan nyaman sama orang.
Kedua, rasa pasrah (bukan sikap pasrah, apalagi gaya pasrah ya!)
Terjemahan bebas ala gue dari rasa pasrah itu adalah ketika kita menyerahkan seluruh jiwa dan raga atas apa yang akan terjadi pada diri kita, namun rasa pasrah itu diberikan semata-mata tidak tanpa syarat.
Syaratnya adalah akses yang utuh dan pemberian timbal balik yang sama terhadap seseorang yang kita sudah berikan rasa pasrah kita secara sukarela. Seems like sacrifice ourselves, but we demand sacrifice from her/him too.
Dari rasa pasrah, kita mulai menggantungkan hidup. Awal mula menggantungkan hidup itulah yang merupakan cikal bakal kecewa dikemudian hari. Khususnya, bila orang itu tidak memberikan timbal balik yang sama atas apa yang telah kita lakukan.
Pasrah juga identik ketika kita has no power atau dengan sengaja menjadi orang yang powerless.
Power itu seperti sistem imun, sehingga kondisi powerless ini bisa diibaratkan sistem imun yang melemah dan akan membuat kita lebih mudah menjadi kecewa bilamana timbal balik yang kita dapatkan tidak setimpal atas rasa pasrah yang sudah kita berikan. (Gimana sih, katanya pasrah, kok tetep ngarep timbal balik (?))
Ketiga, kita tidak menggunakan logika untuk mempertimbangkan segala risiko.
Artinya apa? Artinya ente baper (read: bawa perasaan)!
Susah deh kalo udah baper, apapun diputuskan tanpa logika. Padahal, rasa bergantung terhadap seseorang itu sudah pasti nggak ada faedahnya apa lagi dibentuk atas visi dan misi yang nggak terlalu sejalan dan nggak terlalu kuat pondasinya. Tinggal tunggu waktu aja, rasa baper berubah menjadi rasa super-baper lalu menjadi rasa super-combo-baper, dan lalu menjadi rasa super-highest-combo-baper-is-starting-to-explode. DHUARRRR!
Pelajaran yang bisa diambil apa?
Pertama, kita belajar bahwa hidup itu nggak ada yang sempurna, dan pasti begitu. Kita memang makhluk yang diciptakan paling sempurna di antara makhluk yang ada di dunia, tapi bukan berarti kita adalah makhluk yang paling sempurna sejagat raya. Kita sengaja dibentuk sebagai makhluk sempurna yang dari pabrikannya pasti memiliki tanda reject (cacat).
Sedikit banyaknya tanda reject (cacat) yang terlihat maupun yang tersirat itu menentukan kualitas kita di mata manusia dan di hadapan Tuhan.
Kedua, kita belajar untuk lebih bertanggung jawab. Rasa kecewa akibat bergantung pada seseorang biasanya terjadi ketika orang yang sudah terlanjur kita gantungi tidak bertanggung jawab/kurang bertanggung jawab atas diri kita. Alhasil, rasa kecewa kian terpampang nyata.
Dari fenomena ini, kita dituntut untuk lebih mawas diri di masa depan untuk tidak menjadi sosok yang tidak/kurang bertanggung jawab itu dan lalu menjadi orang yang lebih bertanggung jawab, setidaknya tanggung jawab atas diri sendiri, supaya diri ini tidak kecewa dengan diri sendiri. (NEEEETTT... Mengulang kata ‘diri’ dan ‘sendiri’!)
Ketiga, belajar dari kesalahan diri. Bila menilik tiga indikator di atas, pasti kita sadar, bahwa rasa bergantung itu sumber kesalahan dari diri kita sendiri. Kesalahan ketika kita membuat diri kita merasa nyaman, kesalahan ketika kita mulai pasrah, dan kesalahan ketika kita berpikir tanpa logika.
Maka dari itu, tiga kesalahan tersebut, wajib kita ingat lekat-lekat untuk lebih bijaksana lagi dalam mengeluarkan amunisi rasa percaya, pasrah, dan rasa baper.
Keempat, terimalah apa yang telah terjadi, terima diri kita, terima situasi yang kurang baik untuk digali hikmahnya. Poin ini merupakan hasil penyempurnaan dari pembelajaran poin pertama.
Percaya deh, rasa kecewa itu bisa menjadi pelajaran yang berharga.
Untuk bangkit dari rasa kecewa itu nggak mudah, tapi dalam proses menjalani hidup ke depan dan kita akan (sangat) mengusahakan bahwa rasa menerima itu adalah sikap terbaik supaya kita bisa lebih mudah menjalani hidup dibanding melakukan hal yang tidak berfaedah seperti memberi ruang untuk beragam penyakit hati, misalnya rasa sesal dan dendam. BIG NO NO!
Kelima, percaya sama Tuhan aja, jangan sama manusia.
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang yang ditakdirkan untuk benar-benar melengkapi manusia yang
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang yang memiliki visi dan misi yang sama...
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang dengan kedewasaan yang dapat saling mengimbangi...
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang yang telah menemukan landasan yang paling kuat sebagai pondasi dan pegangan hidup...
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang yang menyadari bahwa keputusan bersama selalu memiliki dampak di masa depan baik berdampak kecil maupun besar...
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang yang sadar bahwa komitmen dan tanggung jawab bersama itu adalah kunci...
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang yang berani mengambil langkah bersama untuk melengkapi ketidaksempurnaan dengan kesempurnaan (rasa syukur)...
Sampai pada masanya kita menemukan seseorang yang sadar bahwa setibanya pada awal hidup yang sempurna itu tidak ada jalan untuk kembali lagi...
(Boro-boro kembali, keluar dari track aja nggak boleh!)
Sampai saat itu datang, mungkin kita perlu merasa kecewa lagi, lagi, dan lagi hingga kita cukup dewasa secara emosional, mental, fisik, dan logika untuk mencipta prototipe-prototipe yang lebih sempurna dari hasil pembelajaran hidup bersama yang sudah dilalui dan menginternalisasikan nilai-nilai kebaikan yang berkelanjutan.
Hingga saat itu datang, percayalah, Tuhan sedang menyiapkan rencana terbaik untukmu, untuk kita semua!
Kesimpulan: Ngomong apa sih, Ni? 😂
0 comments