Disclaimer: Tulisan lama yang tersimpan di-draft, dan baru diselesaikan untuk dipublikasikan. Tulisan ini bukan tentang menceritakan siapa-siapa, tapi mengajak untuk saling berkaca. Ojo baper.
"Sometimes we argue, and sometimes we have made a fallacy. Sometimes we can't think logically in anger, and at the same time, we demand into something that we think it is right but it's not. At that time, we forgot all those moments and realized, only regrets was remain because of bad words that we spitted out."
Terkadang kita suka keliru, salah pengertian, salah paham, atau salah kaprah akan sesuatu.
Pemahaman konsep kita berbeda, sudut pandang kita berbeda, makanya bisa jadi keliru, salah pengertian, salah paham, dan salah kaprah.
Jalan keluarnya, menurut gue, adalah diskusi dan mau mendengarkan satu sama lain, namun hal itu kerap luput dilakukan. Kita memilih untuk berargumen dan menyampaikan pendapat pribadi untuk sekadar didengar dan mendapat afirmasi.
Ada nada tinggi saat berargumen. Yang suaranya paling kuat, biasanya yang paling percaya diri atau yang paling merasa punya kuasa untuk mendominasi, biasanya ia yang berani adalah yang tak punya rasa salah. Ada pula tendensi untuk mencari siapa yang menang; siapa yang paling benar. Setelah lelah tarik urat, maka akan diakhiri dengan penarikan konklusi. Entah, untuk mecapai kata konklusi, dibutuhkan waktu yang berbeda bagi masing-masing orang..
Intinya, harus ada hasil dari setiap diskusi argumen.
Fallacy/Keliru sahabatan banget sama mis.
Misalnya, misapprehension alias salah pengertian.
Pernahkah usaha keras kita dipandang biasa? Atau, pernahkah usaha kita untuk menyenangkan seseorang ternyata malah membuat orang tersebut sedih?
Salah pengertian, IMO, terjadi karena kita berpikir sendiri.
Usaha keras yang dipandang biasa adalah konklusi hasil berpikir sendiri.
Kita enggan bertanya, kita enggan berdiskusi pada orang yang seharusnya tahu soal usaha keras kita.
Usaha untuk menyenangkan, malah membuat jadi sedih adalah buah karya yang dihasilkan atas dasar asumsi.
Kita terkadang merasa terlalu kreatif untuk membuat kejutan, akhirnya kita lupa suatu hal yang esensial: Bertanya apa yang benar-benar disukai orang yang ingin kita senangkan. Menurut gue, satu hal yang membuat kejutan berhasil adalah keberuntungan. "Eh, ternyata dia suka kejutan gue!", "Eh, ternyata dia seneng banget sama surprise-nya!" dan eh, eh, lainnya.
Pernah nggak salah mengambil keputusan? Jawabnya, pernah. Apakah keputusan itu berdasarkan asumsi? Jawabnya, bisa jadi. Bila keputusan yang diambil atas dasar asumsi bisa jadi menimbulkan salah pengertian, lalu muncul deh mis lainnya, yaitu misunderstanding alias salah paham.
Salah paham, IMO, terjadi karena kita punya pikiran sendiri-sendiri. Kita mendefinisikan pikiran itu dengan cara sendiri, dan lupa untuk berdiskusi. Kita lebih suka untuk bertindak berdasarkan insting. Tidak ada yang salah dengan insting, akan tetapi insting bisa dikuatkan dengan konfirmasi, ya nggak sih?
Pernah nggak kita bertengkar dengan mempertanyakan, "Kenapa nggak nanya dulu sih?", atau "Kamu tahu nggak aku gak suka digituin?" Bila sudah begitu, gue cuma bisa bilang, nah lho, nah lho, nah lho... hahahaha nggak dink!
Ya, kalau sudah salah paham biasanya sih jadi bertengkar atau kalau lagi males bertengkar ya cuma diem-dieman. Terkadang juga, kita lebih suka membuat momen salah paham ini menjadi sebuah medium untuk menyampaikan argumen panas masing-masing. Terserah apakah didengar, asal kita lega mengeluarkan segala unek-unek kita. Lagi-lagi, kita lupa, membuka telinga lebih penting daripada membesarkan mulut.
Bila sudah begitu, tinggal menunggu siapa yang ingin menurunkan egonya terlebih dahulu, berani untuk mengalah, dan meluruskan perkara dengan kelembutan.
Semua bisa dibicarakan, semua bisa diselesaikan, namun tergantung bagaimana cara dan fokus kita. Apakah terfokus pada masalah atau pada solusi. Apakah ingin melanjutkan atau menyudahi (?).